Jumat, 22 April 2016

CERPEN MISTERI & KRIMINOLOGI - THE COLD HEART - PART 1 - IT'S NOT A WARM SNOW

THE COLD HEART
Part 1 – IT’S NOT A WARM SNOW
Itu Bukan Salju yang Hangat

Kamis, 17 Desember 2015, tepat seminggu sebelum keramahan Natal menyapa, udara dingin sinkron mengundang keheningan. Temperatur tepat 10 derajat di atas titik beku, meleset satu angka dari perkiraan TV Nasional, kemarin. Di tengah keremangan lampu trotoar Hobart Street, Sane seorang diri berjaga seperti tiga hari terakhir berkat demonstrasi besar akhir-akhir ini. Maltius, rekannya sedang terkena demam karena tiga hari lalu Robert Maltius membiarkan jaket basahnya membeku di luar dan Tuan Maltius bersikeras memakainya.
Ditambahnya suhu pemanas dalam mobil polisi yang ditumpangi Sane. Dari kacanya, tampak salju di luar turun perlahan-lahan. Situasi tak begitu baik, kericuhan seminggu lalu masih menyisakan bekas balok-balok kayu berlumuran darah kering berserakan. Beberapa sudut jalan temboknya menghitam karena petasan terus meledak selama konflik terjadi. Lapisan salju tipis yang cukup membuat orang tergelincir menghampar sejak badai di pegunungan utara mengamuk. Malam itu benar-benar panjang, tak ada perbincangan dan kehangatan, yang Sane jumpai hanya suara deruan nafas kelelahan. Ia melirik ke arah jam tangan yang melekat di tangan kirinya, terlihat embun tipis di dalam jam murahan itu namun masih jelas menunjukkan pukul 1.15 dini hari.
Mata yang sayu hampir saja terpejam ketika suara langkah kaki yang kesulitan berjalan merobohkan lamunan Sane. Ditengoknya ke belakang. Seorang pria bertubuh ramping dan tinggi dengan pakaian serba hitam tampak lari tergopoh-gopoh ke arahnya. Lalu, ia mengetuk-ngetuk pintu kaca polisi yang berjaga itu.
“Apa gerangan yang bisa kubantu?”
“T…to..to..tolonglah selamatkan aku. S…se..lamatkan…akkuu…lindu..ngi a..aku Tuan.”
“Tenanglah, Sir! Jelaskan apa yang terjadi!”
“T..to..tolong l….lin..dungi aku, m..me..reka tak kan mengampuniku.”
“Masuklah, Tuan!”
Pria asing itu segera masuk dan melepas topinya. Tampak wajah cukup tampan dibalut kaca mata berframe hitam bertengger di hidung mancungnya. Derap jantung yang tak teratur terdengar jelas, peluhnya menetes melewati dahi yang ternyata berdarah.
“Tak usah khawatir Tuan, Anda aman bersamaku.”
“Namaku Jeremy Crowde.” Sapa pria itu mengulurkan tangan. Jelas ia menyembunyikan ketakutan di balik senyum tipisnya.
“Dari Kingsley, Pegunungan Dornwich Utara.”
“Sane Jadewish, panggil saja Sane. Aku lebih menyukainya, Distrik 16 Kepolisian Lorners City.” Uluran jemari Sane menyambut sarung tangan yang membeku dari Jeremy.
“Apa kau kenal bandit-bandit di ujung jalan itu? Ya, kaukan polisi, jadi setidaknya kau tahu mereka.”
“Kau mau? Aku punya beberapa di jok belakang. Ambillah dan tenangkan dirimu!” Sane menyodorkan sebungkus sandwich coklat yang dibelinya tadi sore.
“Terima kasih, tapi apa kau tahu mereka?”
“Ya, boleh dibilang begitu, sering membuat kerusuhan akhir-akhir ini.”
Sane termenung dan kembali memikirkan apa yang telah terjadi, mungkinkah preman-preman itu? Atau lebih rumit dari perkiraannya. Entahlah walaupun puluhan kasus telah berhasil ditanganinya, tapi pengalaman Sane selama setahun belum cukup untuk menaklukkan teka-teki ini. Lalu, apa Jeremy tak tahu telah terjadi kerusuhan besar di sini? Seluruh stasiun TV lokal bahkan internasional berkali-kali menayangkan berita yang menjadi headline mereka. Tapi syukurlah, kegilaaan itu telah mereda sekarang. Ada benarnya mengurusi tak baik ikut campur urusan orang lain. Jadi, Sane tak perlu menanyakan pertanyaan konyol semacam itu pada orang yang baru dikenalnya tak lebih dari lima belas menit lalu.
Samar-samar terdengar Jeremy menikmati sandwich coklat. Salju turun lebih lebat di luar, tapi hal itu tak membuyarkan lamunan seorang polisi muda.
Beberapa orang yang tak begitu menonjol atau justru terabaikan terbunuh. Kasus itu terlihat mudah, banyak saksi ada di sini jadi apa yang harus diragukan? Tapi kasus mudah tak selamanya akan kelihatan mudah. Seorang yang ditemuinya kemarin mungkin bisa memberikan hasil di kantor polisi. Sane hanya perlu menunggu.
“Mr. Sane!” Lamunan Sane buyar.
“ Oh..emm iya. Apa bandit itu datang?” Sane berusaha menyembunyikan kekagetannya.
“Apa aku berhak mengutarakan suatu hal pada Anda?”
“Ceritakan saja! Apa ini soal bandit-bandit yang tak mengampunimu itu? Mungkin dia akan membunuhmu juga.” Suara Sane terdengar bergurau.
“Baiklah, itu sangat menghiburku! Kalau boleh, aku akan menceritakan kisah pribadi yang janggal dan masih membuatku tercegang. Tolong dengarkanlah dengan seksama. Tadi pagi aku mengunjungi Pamanku di Dornwich, sudah lama rasanya aku tak kembali ke sana. Aku turun di stasiun terdekat, sekitar 3 mil dari Kingsley. Semua orang tahu salju baru saja mengamuk, tapi pagi itu menjadi hari yang cerah.”
“Pasti menyenangkan ya?”
“Yah tidak juga, ada saat-saat tertentu kau harus melakukan hal yang hambar untuk memenuhi jadwal.”
“Begitulah, manusia pernah mengalaminya.”
“Tentu. Biarkan aku meneruskan ceritaku dahulu.  Lalu aku berjalan menulusuri jalan beraspal licin sekitar setengah mil. Kemudian, sampailah di jalan setapak menuju pertambangan. Yeah kudengar kira-kira seminggu sebelum salju datang mereka telah libur dan jalan menjadi terisolasi, biasanya mereka membersihkan salju itu ketika akhir musim dingin datang. Beberapa menit kemudian, sampailah aku pada bangunan bekas Pasar Tradisional Kingsley yang terbengkalai dan oh astaga!!!! Apa kau percaya dengan yang kulihat?”
“Kurasa kau benar, mana mungkin aku akan percaya pada orang yang tiba-tiba meminta bantuanku dan belum menceritakan apa yang dia lihat.”
“Ya..ya baiklah aku kaget juga saat melihatnya. Sebuah tubuh yang mungkin saja sekarat melayang dari lantai keempat bangunan itu. Buk!!! Begitulah suara yang kudengar, tubuhku langsung bergetar hebat, keringat dingin keluar, jari jemariku tak mampu lagi untuk mencengkram. Aku hanya berdiam seolah-olah roh hitam merasukiku, kira-kira 15 meter dari tubuh yang tersungkur itu. Wajahnya tampak terbenam ke salju dengan tangan diikat ke balakang dan leher berkalung tambang besar serta darah segar keluar dari kepalanya, membasuh salju putih di bawahnya. Sungguh itu membuatku ketakutan hingga sekarang. Tak tahu mengapa ketika aku melihat ke atap, sekilas aku melihat seseorang dengan pakaian hitam berlari seolah menghindari kedatangan orang bernyawa yang melihat kejadian itu. Tapi anehnya setelah kupikir-pikir dia tidak mengejarku atau pun membunuhku. Ah.. mungkin itu hanya ilusiku saja jadi aku pergi ke rumah pamanku sejenak dan menceritakan hal itu, tapi ia tak percaya karena setelah aku membawanya ke sana, salju itu benar-benar bersih. Tidak ada tanda-tanda kedatangan orang ataupun kematian seperti bekas darah. Jadi cepat kusimpulkan itu hanya ilusiku saja. Siangnya, aku langsung pergi ke sini untuk mengunjungi temanku yang baru saja pulang dari penugasannya di Afganistan. Tapi di kereta, aku bertemu sesosok pria tua yang tampak kumal seperti pengemis, dia pun memulai perbincangan yang hangat denganku. Dari perbincangan yang kurang dari setengah jam itu dia menceritakan tentang mayat-mayat yang dibunuh di Pasar Kingsley. Dulunya ia merupakan seorang polisi yang ditugaskan di Kingsley, namun dia meninggalkan pekerjaannya karena tak ada yang bisa menaklukkan kudeta di dalam kudeta. Aku masih ragu dengan hal itu. Pria itu pun turun ketika transit di Varshity.”
“Baiklah, kedengarannya menarik. Tapi sayang, polisi tak mampu mengusutnya jika itu sebuah halusinasi.”
“Yeah, kupikir awalnya memang begitu. Tap…tapii…kau seorang polisi bukan? Mengapa kau tak peduli dengan hal bajingan semacam itu, bukan hanya dia, bahkan banyak orang mati tak tau penyebabnya, termasuk orang tuaku. Apa hanya karena Kepolisian di pimpin oleh bajingan sampah? Apa gunanya negeri  ini dibangun dengan susah payah?” Suasana berubah begitu cepat. Muka Jeremy merah padam, matanya menyolot-nyolot.
“Tenanglah Mr. Crowde, sebagian manusia memang pernah mengalaminya, tapi waktu akan terus menutupi kejadian di masa lampau, itulah kelemahan kebanyakan orang dalam mengusut sebuah kasus.”
“Aku berharap dapat membantumu jika saja ada bukti yang ditinggalkan pelaku. Tapi seperti yang kau katakan, salju itu bersih bahkan tak ada jejak orang yang memijakkan kakinya di sana.”
“Kebanyakan orang hanya bisa menunggu keajaiban datang ketika bencana datang sesingkat itu.”
Jeremy menunduk, menyandarkan kepalanya pada bangku depan mobil, tangannya yang masih berlapis sarung mengepal. Sane hanya terdiam, ditengoknya kembali jam di tangan kirinya. Pukul 02.30 dini hari, kantung mata Sane membesar. Terlihat dari kaca mobilnya salju masih turun walau perlahan.
“Orang tuaku dibunuh saat mereka bersamaku, tepat di hadapanku.” Jeremy membuka keheningan. Matanya yang membengkak mendongak.
“Itu sungguh mengerikan, aku turut prihatin. Mungkin jika aku jadi kau, aku tak mungkin sampai di sini.”
“Ini hampir pagi Mr. Crowde, lebih baik Anda pergi tidur.”
“Kurasa juga begitu, mungkin itu akan membuatku tenang.”
.
.
Pagi harinya salju mereda. Tapi tetap saja tak ada seorangpun yang mau lewat tempat mengerikan itu. Mereka telah bersembunyi di tempat yang lebih aman. Tentunya untuk melindungi orang-orang yang dicintai.  Suara ponsel Sane berdering hingga membangunkannya.
“Sane.. kau lihat kabar baik hari ini. Wow!! Itu sangat mengesankan mate!”
“Hoaaammm….apa yang kau katakan. Aku masih mengantuk…nanti saja ya, ini masih… Oh, astaga pukul 08.00!”
“Dasar pemalas! Bangunlah! Ada kabar gembira li…”
“Oh, di mana Jeremy? Dia pergi? Tunggu..tunggu…tunggu..”
“Hei apa yang kau lakukan? Dan Siapa itu Jeremy? Aku bertaruh dia bukan perempuan.”
“Ya…yaa aku tak ingin bertaruh sekarang. Hahaaha dasar…dia meninggalkan surat untukku.”
“Jadi dia benar-benar perempuan? Nama macam apa itu?”
“Kau percaya? Dia menghampiriku dan menginap di mobilku semalaman tapi paginya sudah menghilang. Baiklah, -terima kasih atas keramahan Anda Mr. Sane, maaf atas ketidaksopananku pada Anda. Dan untuk sandwichnya, ijinkan aku untuk mentraktir Anda jika kita bertemu- tertanda, Jeremy.”
“Apa kau gila?? Dia sungguhan perempuan?”
“Hahaha kau pikir aku sudah tak normal? Jeremy Crowde dari Kingsley, Dornwich Utara, bila kutebak, umurnya tak jauh dari 27.”
“Ahh..kukira benar-benar perempuan. Baiklah aku tidak tertarik, coba buka emailmu. Letnan James bilang telah mengirimkan filenya padamu. Dia sangat berterima kasih karena orang yang kau bawa itu berguna.”
“Wow!!! Benarkah?” Sane berusaha meraih laptopnya di jok belakang dan segera membuka file yang Robert katakan.
“Ngomong-ngomong ada hal menarik dari penyelidikan kemarin, Letnan James menemukan bahwa dia adalah bandar narkoba internasional dan berada di balik kerusuhan besar di Varrond 3 tahun lalu.”
“Oh benarkah! Itu sungguh menarik. Ah… mengapa aku gugup seperti ini, tak biasanya.”
“Cepatlah Sane, kau terlalu banyak berbasa-basi.”
“Hahaha menurutmu begitu? Baiklah ini dia. Oh GODD…apa James tidak salah mengirim e-mailnya?”
Sejenak hati Sane bergetar, keringat dingin mengalir. Sane berusaha menelan ludahnya. Sementara Maltius yang berada di seberang terdengar heran dengan keanehan rekannya.
“Ya! Aku yakin itu benar, aku sudah mengeceknya tak lebih dari satu jam lalu.”
“Aku benar-benar tak percaya.”
 “Apa kau bercanda?”
“Tidak! Bukan itu maksudku. Orang yang ku temui semalam…d..di..diaa persis dengan sketsa itu. Jeremy Crowde, Dornwich Utara. Aku masih mengingatnya.” Sane berusaha meraih tas di jok belakang dan memasukkan beberapa barang.
“Sane, bangunlah! Jangan mengigau!”
“Tidak, sungguh aku berani bersumpah demi apapun, dia yang semalaman menginap di sini adalah dia. Sudah kuduga kasus ini akan mudah tapi mematikan. Baiklah kurasa aku tau di mana dia sekarang. Aku harus pergi, telponlah kepolisian dan ambil mobilnya di Hobart Street no. 16 depan toko yang kacanya rusak. Sampai nanti.” Maltius masih heran dengan kawannya, tapi apa yang dikatakan Sane ada benarnya.
Sane segera berlari menyusuri Hobart street menuju stasiun Lorners di jalan utama sambil sesekali berusaha menjaga keseimbangan agar tidak tergelincir. Ia melupakan sarung tangan dan topinya, tampaklah kedua jemarinya mulai memerah. Pagi itu matahari tidak bersinar seperti kemarin, hanya angin berhembus menggelitik telinganya. Sane hanya berfikir untuk segera sampai disana dan pergi ke Dornwich untuk menangkap bajingan itu.
Sesampainya di Lorners Station, keadaan tampak begitu sepi, hanya beberapa orang berlalu lalang untuk pergi ke loket atau sekedar menuju ke arah toilet, sebagian dari yang tak besar itu duduk menunggu kedatangan kereta dari Varshity. Tampak di monitor Lorners-Varrond gerbang 4 selanjutnya Lorners-Arborsaint gerbang 2 . Sane tak begitu memperhatikan keadaan itu, dirinya hanya terfokus pada monitor yang menampakkan Lorners-Kingsley gerbang 2 pukul 08:30 sekitar 15 menit dari sekarang. Buru-buru langkahnya terdengar menuju loket 2 yang terletak di sebelah pintu menuju toilet laki-laki. Perasaannya sangat kacau pagi ini, keberhasilannya mengungkap tersangka pun tak mampu menutupi kebimbangan akan kasus yang dihadapinya. Kejadian itu terasa aneh dan berlalu begitu saja tanpa memerlukan pemikiran mendalam.
“Tolong satu tiket ke Kingsley.” Ujarnya ke petugas loket yang ditaksirnya berumur sekitar 25 tahunan dan tertera nama pada jas yang dipakai pegawai itu.
“Apa Anda merasa nyaman berpakaian seperti itu saat kerja?”
“Mungkin Anda harus mencobanya Tuan, seperti keadaan Anda sekarang. Selamat menikmati perjalanan semoga selamat sampai tujuan.” Kolovas menyodorkan tiket pada Sane. Ia hanya membalas dengan senyum tipis.
Tas di punggung Sane terasa sedikit berat, bahunya menggeretak. Mungkin ia hanya perlu duduk dan memakan sandwich yang tersisa di dalam tasnya. Kemudian, ia pun mencari bangku kosong agak jauh dari sekumpulan anak-anak muda yang sedang bergurau.
Waktu terasa lama, setelah ia berhasil menghabiskan 2 bungkus sandwich dan hampir seperempat botol air mineral yang dibawanya. 8 menit…7 menit…6 menit..5 menit..30 detik…. Sane hanya menatap jam di seberang monitor kedatangan kereta itu pekat-pekat.
Lorners-Dornwich gerbang 2 08:30-9:45
“Kereta Lorners-Kingsley akan segera tiba. Silakan penumpang menuju gerbang 2 dan persiapkan tiket Anda untuk dicek oleh petugas. Terima kasih. Semoga perjalanan Anda menyenangkan.”
Wajah Sane sedikit lega setelah ia duduk di bangku kereta di mana kacanya terasa membeku ketika tangan telanjang Sane menyentuhnya. Sedari tadi, ponselnya masih saja bergetar tapi Sane mengacuhkannya. “Kalian tak perlu mengkhawatirkanku, kupastikan aku akan kembali dengan nyawaku.” Gumamnya dalam hati.
Setengah jam berlalu, seorang wanita muda duduk di hadapan Sane setelah transit di Stasiun Jersey. Parasnya nyaman dipandang, rambut hitam terurai dan mata legamnya mengkilat. Tatapannya mengisyaratkan bahwa ia memiliki karisma yang tinggi.
“Permisi bolehkah aku bertanya?”
“Tentu saja, Nona.”
“Apa Anda tahu dimana alamat ini?”
-Hobart Street distrik 20 Kingsley Utara-
“Apa Anda yakin ini alamat yang benar?”
“Sebenarnya tak terlalu, aku sudah mencoba beberapa kali bertanya pada orang-orang, dan mengeceknya melalui ponselku, tapi nihil.”
“Yah begitu juga menurutku.”
“Ya Tuhan…jadi dia benar-benar menipuku, maafkan aku Tuan telah menyusahkan Anda.”
“Sebentar, setidaknya aku pernah mendengarnya sekali, tapi aku tak terlalu yakin. Hobart Street Kingsley…..tunggu Nona biar aku carikan.” Dibukanya tas yang sedari tadi memberatkan punggung Sane, dan laptop yang berada di dalamnya.
“Seminggu ini aku sempat diteror beberapa kali dan diminta untuk datang ke Hobart Street Kingsley, tapi yang kutahu hanya Hobart Street di Lorners.”
“Yeah tempat tragedi berdarah seminggu lalu. Semua orang tahu itu. Nah..ini dia. Catatan kriminal milik Fransisco Rain, salah satu tersangka kerusuhan di Varrond yang mengalami gangguan jiwa. Setelah dilakukan penyelidikan kedua, sekitar dua bulan lalu, ia mengaku bahwa tinggal di Hobart Street Kingsley. Jadi kurasa orang itu gila seperti Rain ini.”
“Oh..apakah Anda seorang polisi? Terima kasih atas informasinya, kupikir itu benar-benar berita penting.”
“Ya, Sane Jadewish dari Lorners, tapi aku masih baru. Tenanglah nona, lebih baik Anda pulang. Kebetulan aku akan pergi ke Kingsley. Kupikir aku bisa membantu Anda menemukan alamat itu. Simpan saja kartu namaku.”
“Aku sungguh berterima kasih. Baiklah aku akan berhenti di sini. Semoga harimu menyenangkan.”
“Jangan berlebihan.” Sama seperti sebelumnya, Sane hanya tersenyum tipis membalas sanjungan berlebihan dari wanita itu.
Selanjutnya, kereta transit di beberapa stasiun kecil dan tentu saja Kingsley sebelum stasiun utama Dornwich.
Sesampainya di Kingsley, Sane mencoba menghubungi Maltius. Tapi telfonnya tak diangkat. Dia memutuskan untuk meninggalkan pesan suara
“Aku sudah sampai di Kingsley dengan selamat, jangan khawatirkan apapun tentangku. Kupastikan aku akan kembali dengan nyawa utuh. Selidiki saja CCTV di Hobart Street.”
Sane menghela nafas, pikirannya masih teringat pada pertemuan dengan pembunuh semalam, Hobart Street Kingley apa maksudnya? Apa dia ingin main-main denganku?”
Pikiran yang tak waras selalu ingin menjadi pemberontak, Sane mencoba untuk meredakannya. Dia mulai melangkah melalui jalan yang diceritakan Jeremy Crowde. Jalan beraspal yang licin sekitar setengah mil, lalu jalan setapak menuju Pasar Kingsley yang terbengkalai. Dan benar saja, jalan itu benar-benar ada seperti yang diceritakan Crowde.
Tepat ketika ia sampai di Pasar Kingsley, sebuah tubuh melayang tepat seperti yang Jeremy katakan. Leher dililit tambang besar, tangan terikat ke belakang dan wajah tersungkur ke salju yang putih hingga darah keluar dari kepalanya. Sane hanya terdiam dan terpaku, itulah kejadian mengerikan pertama yang dilihatnya selama menjadi polisi. Deru nafasnya memberat, tangannya yang merah bergetar. Rasanya ia tak sanggup untuk berdiri lebih lama. Segera saja Sane hilangkan perasaan yang justru membuatnya semakin ketakutan. Ia berusaha melawan ketakutan yang menjamah batinnya dan mendekati mayat itu. Segera langkahnya menuju tubuh yang tersungkur itu dan mengambil beberapa foto untuk barang bukti.
Dan…..astaga! Dia benar-benar Jeremy Crowde. Tersangka yang dicarinya telah mati dengan kisahnya sendiri.

Ega Agustina Cahyani