THE
COLD HEART
Part 1 – IT’S NOT A WARM SNOW
Itu
Bukan Salju yang Hangat
Kamis,
17 Desember 2015, tepat seminggu sebelum keramahan Natal menyapa, udara dingin
sinkron mengundang keheningan. Temperatur tepat 10 derajat di atas titik beku,
meleset satu angka dari perkiraan TV Nasional, kemarin. Di tengah keremangan
lampu trotoar Hobart Street, Sane
seorang diri berjaga seperti tiga hari terakhir berkat demonstrasi besar
akhir-akhir ini. Maltius, rekannya sedang terkena demam karena tiga hari lalu
Robert Maltius membiarkan jaket basahnya membeku di luar dan Tuan Maltius
bersikeras memakainya.
Ditambahnya
suhu pemanas dalam mobil polisi yang ditumpangi Sane. Dari kacanya, tampak
salju di luar turun perlahan-lahan. Situasi tak begitu baik, kericuhan seminggu
lalu masih menyisakan bekas balok-balok kayu berlumuran darah kering
berserakan. Beberapa sudut jalan temboknya menghitam karena petasan terus
meledak selama konflik terjadi. Lapisan salju tipis yang cukup membuat orang
tergelincir menghampar sejak badai di pegunungan utara mengamuk. Malam itu
benar-benar panjang, tak ada perbincangan dan kehangatan, yang Sane jumpai hanya
suara deruan nafas kelelahan. Ia melirik ke arah jam tangan yang melekat di
tangan kirinya, terlihat embun tipis di dalam jam murahan itu namun masih jelas
menunjukkan pukul 1.15 dini hari.
Mata
yang sayu hampir saja terpejam ketika suara langkah kaki yang kesulitan berjalan
merobohkan lamunan Sane. Ditengoknya ke belakang. Seorang pria bertubuh ramping
dan tinggi dengan pakaian serba hitam tampak lari tergopoh-gopoh ke arahnya.
Lalu, ia mengetuk-ngetuk pintu kaca polisi yang berjaga itu.
“Apa
gerangan yang bisa kubantu?”
“T…to..to..tolonglah
selamatkan aku. S…se..lamatkan…akkuu…lindu..ngi a..aku Tuan.”
“Tenanglah,
Sir! Jelaskan apa yang terjadi!”
“T..to..tolong
l….lin..dungi aku, m..me..reka tak kan mengampuniku.”
“Masuklah,
Tuan!”
Pria
asing itu segera masuk dan melepas topinya. Tampak wajah cukup tampan dibalut
kaca mata berframe hitam bertengger
di hidung mancungnya. Derap jantung yang tak teratur terdengar jelas, peluhnya
menetes melewati dahi yang ternyata berdarah.
“Tak
usah khawatir Tuan, Anda aman bersamaku.”
“Namaku
Jeremy Crowde.” Sapa pria itu mengulurkan tangan. Jelas ia menyembunyikan
ketakutan di balik senyum tipisnya.
“Dari
Kingsley, Pegunungan Dornwich Utara.”
“Sane
Jadewish, panggil saja Sane. Aku lebih menyukainya, Distrik 16 Kepolisian Lorners City.” Uluran jemari Sane
menyambut sarung tangan yang membeku dari Jeremy.
“Apa
kau kenal bandit-bandit di ujung jalan itu? Ya, kaukan polisi, jadi setidaknya
kau tahu mereka.”
“Kau
mau? Aku punya beberapa di jok belakang. Ambillah dan tenangkan dirimu!” Sane
menyodorkan sebungkus sandwich coklat
yang dibelinya tadi sore.
“Terima
kasih, tapi apa kau tahu mereka?”
“Ya,
boleh dibilang begitu, sering membuat kerusuhan akhir-akhir ini.”
Sane
termenung dan kembali memikirkan apa yang telah terjadi, mungkinkah
preman-preman itu? Atau lebih rumit dari perkiraannya. Entahlah walaupun
puluhan kasus telah berhasil ditanganinya, tapi pengalaman Sane selama setahun belum
cukup untuk menaklukkan teka-teki ini. Lalu, apa Jeremy tak tahu telah terjadi
kerusuhan besar di sini? Seluruh stasiun TV lokal bahkan internasional
berkali-kali menayangkan berita yang menjadi headline mereka. Tapi syukurlah, kegilaaan itu telah mereda
sekarang. Ada benarnya mengurusi tak baik ikut campur urusan orang lain. Jadi,
Sane tak perlu menanyakan pertanyaan konyol semacam itu pada orang yang baru
dikenalnya tak lebih dari lima belas menit lalu.
Samar-samar
terdengar Jeremy menikmati sandwich
coklat. Salju turun lebih lebat di luar, tapi hal itu tak membuyarkan lamunan
seorang polisi muda.
Beberapa
orang yang tak begitu menonjol atau justru terabaikan terbunuh. Kasus itu
terlihat mudah, banyak saksi ada di sini jadi apa yang harus diragukan? Tapi
kasus mudah tak selamanya akan kelihatan mudah. Seorang yang ditemuinya kemarin
mungkin bisa memberikan hasil di kantor polisi. Sane hanya perlu menunggu.
“Mr.
Sane!” Lamunan Sane buyar.
“
Oh..emm iya. Apa bandit itu datang?” Sane berusaha menyembunyikan kekagetannya.
“Apa
aku berhak mengutarakan suatu hal pada Anda?”
“Ceritakan
saja! Apa ini soal bandit-bandit yang tak mengampunimu itu? Mungkin dia akan
membunuhmu juga.” Suara Sane terdengar bergurau.
“Baiklah,
itu sangat menghiburku! Kalau boleh, aku akan menceritakan kisah pribadi yang
janggal dan masih membuatku tercegang. Tolong dengarkanlah dengan seksama. Tadi
pagi aku mengunjungi Pamanku di Dornwich, sudah lama rasanya aku tak kembali ke
sana. Aku turun di stasiun terdekat, sekitar 3 mil dari Kingsley. Semua orang
tahu salju baru saja mengamuk, tapi pagi itu menjadi hari yang cerah.”
“Pasti
menyenangkan ya?”
“Yah
tidak juga, ada saat-saat tertentu kau harus melakukan hal yang hambar untuk
memenuhi jadwal.”
“Begitulah,
manusia pernah mengalaminya.”
“Tentu.
Biarkan aku meneruskan ceritaku dahulu. Lalu aku berjalan menulusuri jalan beraspal licin
sekitar setengah mil. Kemudian, sampailah di jalan setapak menuju pertambangan.
Yeah kudengar kira-kira seminggu sebelum salju datang mereka telah libur dan
jalan menjadi terisolasi, biasanya mereka membersihkan salju itu ketika akhir
musim dingin datang. Beberapa menit kemudian, sampailah aku pada bangunan bekas
Pasar Tradisional Kingsley yang terbengkalai dan oh astaga!!!! Apa kau percaya
dengan yang kulihat?”
“Kurasa
kau benar, mana mungkin aku akan percaya pada orang yang tiba-tiba meminta
bantuanku dan belum menceritakan apa yang dia lihat.”
“Ya..ya
baiklah aku kaget juga saat melihatnya. Sebuah tubuh yang mungkin saja sekarat
melayang dari lantai keempat bangunan itu. Buk!!! Begitulah suara yang kudengar,
tubuhku langsung bergetar hebat, keringat dingin keluar, jari jemariku tak
mampu lagi untuk mencengkram. Aku hanya berdiam seolah-olah roh hitam merasukiku,
kira-kira 15 meter dari tubuh yang tersungkur itu. Wajahnya tampak terbenam ke
salju dengan tangan diikat ke balakang dan leher berkalung tambang besar serta darah
segar keluar dari kepalanya, membasuh salju putih di bawahnya. Sungguh itu membuatku
ketakutan hingga sekarang. Tak tahu mengapa ketika aku melihat ke atap, sekilas
aku melihat seseorang dengan pakaian hitam berlari seolah menghindari
kedatangan orang bernyawa yang melihat kejadian itu. Tapi anehnya setelah
kupikir-pikir dia tidak mengejarku atau pun membunuhku. Ah.. mungkin itu hanya
ilusiku saja jadi aku pergi ke rumah pamanku sejenak dan menceritakan hal itu,
tapi ia tak percaya karena setelah aku membawanya ke sana, salju itu
benar-benar bersih. Tidak ada tanda-tanda kedatangan orang ataupun kematian
seperti bekas darah. Jadi cepat kusimpulkan itu hanya ilusiku saja. Siangnya,
aku langsung pergi ke sini untuk mengunjungi temanku yang baru saja pulang dari
penugasannya di Afganistan. Tapi di kereta, aku bertemu sesosok pria tua yang
tampak kumal seperti pengemis, dia pun memulai perbincangan yang hangat
denganku. Dari perbincangan yang kurang dari setengah jam itu dia menceritakan
tentang mayat-mayat yang dibunuh di Pasar Kingsley. Dulunya ia merupakan
seorang polisi yang ditugaskan di Kingsley, namun dia meninggalkan pekerjaannya
karena tak ada yang bisa menaklukkan kudeta di dalam kudeta. Aku masih ragu
dengan hal itu. Pria itu pun turun ketika transit di Varshity.”
“Baiklah,
kedengarannya menarik. Tapi sayang, polisi tak mampu mengusutnya jika itu
sebuah halusinasi.”
“Yeah,
kupikir awalnya memang begitu. Tap…tapii…kau seorang polisi bukan? Mengapa kau
tak peduli dengan hal bajingan semacam itu, bukan hanya dia, bahkan banyak
orang mati tak tau penyebabnya, termasuk orang tuaku. Apa hanya karena
Kepolisian di pimpin oleh bajingan sampah? Apa gunanya negeri ini dibangun dengan susah payah?” Suasana
berubah begitu cepat. Muka Jeremy merah padam, matanya menyolot-nyolot.
“Tenanglah
Mr. Crowde, sebagian manusia memang pernah mengalaminya, tapi waktu akan terus
menutupi kejadian di masa lampau, itulah kelemahan kebanyakan orang dalam
mengusut sebuah kasus.”
“Aku
berharap dapat membantumu jika saja ada bukti yang ditinggalkan pelaku. Tapi
seperti yang kau katakan, salju itu bersih bahkan tak ada jejak orang yang
memijakkan kakinya di sana.”
“Kebanyakan
orang hanya bisa menunggu keajaiban datang ketika bencana datang sesingkat
itu.”
Jeremy
menunduk, menyandarkan kepalanya pada bangku depan mobil, tangannya yang masih
berlapis sarung mengepal. Sane hanya terdiam, ditengoknya kembali jam di tangan
kirinya. Pukul 02.30 dini hari, kantung mata Sane membesar. Terlihat dari kaca
mobilnya salju masih turun walau perlahan.
“Orang
tuaku dibunuh saat mereka bersamaku, tepat di hadapanku.” Jeremy membuka
keheningan. Matanya yang membengkak mendongak.
“Itu
sungguh mengerikan, aku turut prihatin. Mungkin jika aku jadi kau, aku tak
mungkin sampai di sini.”
“Ini
hampir pagi Mr. Crowde, lebih baik Anda pergi tidur.”
“Kurasa
juga begitu, mungkin itu akan membuatku tenang.”
.
.
Pagi
harinya salju mereda. Tapi tetap saja tak ada seorangpun yang mau lewat tempat
mengerikan itu. Mereka telah bersembunyi di tempat yang lebih aman. Tentunya
untuk melindungi orang-orang yang dicintai.
Suara ponsel Sane berdering hingga membangunkannya.
“Sane..
kau lihat kabar baik hari ini. Wow!! Itu sangat mengesankan mate!”
“Hoaaammm….apa
yang kau katakan. Aku masih mengantuk…nanti saja ya, ini masih… Oh, astaga
pukul 08.00!”
“Dasar
pemalas! Bangunlah! Ada kabar gembira li…”
“Oh,
di mana Jeremy? Dia pergi? Tunggu..tunggu…tunggu..”
“Hei
apa yang kau lakukan? Dan Siapa itu Jeremy? Aku bertaruh dia bukan perempuan.”
“Ya…yaa
aku tak ingin bertaruh sekarang. Hahaaha dasar…dia meninggalkan surat untukku.”
“Jadi
dia benar-benar perempuan? Nama macam apa itu?”
“Kau
percaya? Dia menghampiriku dan menginap di mobilku semalaman tapi paginya sudah
menghilang. Baiklah, -terima kasih atas
keramahan Anda Mr. Sane, maaf atas ketidaksopananku pada Anda. Dan untuk sandwichnya,
ijinkan aku untuk mentraktir Anda jika kita bertemu- tertanda, Jeremy.”
“Apa
kau gila?? Dia sungguhan perempuan?”
“Hahaha
kau pikir aku sudah tak normal? Jeremy Crowde dari Kingsley, Dornwich Utara, bila
kutebak, umurnya tak jauh dari 27.”
“Ahh..kukira
benar-benar perempuan. Baiklah aku tidak tertarik, coba buka emailmu. Letnan James bilang telah
mengirimkan filenya padamu. Dia
sangat berterima kasih karena orang yang kau bawa itu berguna.”
“Wow!!!
Benarkah?” Sane berusaha meraih laptopnya di jok belakang dan segera membuka file yang Robert katakan.
“Ngomong-ngomong
ada hal menarik dari penyelidikan kemarin, Letnan James menemukan bahwa dia
adalah bandar narkoba internasional dan berada di balik kerusuhan besar di
Varrond 3 tahun lalu.”
“Oh
benarkah! Itu sungguh menarik. Ah… mengapa aku gugup seperti ini, tak biasanya.”
“Cepatlah
Sane, kau terlalu banyak berbasa-basi.”
“Hahaha
menurutmu begitu? Baiklah ini dia. Oh GODD…apa James tidak salah mengirim e-mailnya?”
Sejenak
hati Sane bergetar, keringat dingin mengalir. Sane berusaha menelan ludahnya.
Sementara Maltius yang berada di seberang terdengar heran dengan keanehan
rekannya.
“Ya!
Aku yakin itu benar, aku sudah mengeceknya tak lebih dari satu jam lalu.”
“Aku
benar-benar tak percaya.”
“Apa kau bercanda?”
“Tidak!
Bukan itu maksudku. Orang yang ku temui semalam…d..di..diaa persis dengan
sketsa itu. Jeremy Crowde, Dornwich Utara. Aku masih mengingatnya.” Sane
berusaha meraih tas di jok belakang dan memasukkan beberapa barang.
“Sane,
bangunlah! Jangan mengigau!”
“Tidak,
sungguh aku berani bersumpah demi apapun, dia yang semalaman menginap di sini
adalah dia. Sudah kuduga kasus ini akan mudah tapi mematikan. Baiklah kurasa
aku tau di mana dia sekarang. Aku harus pergi, telponlah kepolisian dan ambil
mobilnya di Hobart Street no. 16 depan toko yang kacanya rusak. Sampai nanti.”
Maltius masih heran dengan kawannya, tapi apa yang dikatakan Sane ada benarnya.
Sane
segera berlari menyusuri Hobart street menuju stasiun Lorners di jalan utama sambil
sesekali berusaha menjaga keseimbangan agar tidak tergelincir. Ia melupakan
sarung tangan dan topinya, tampaklah kedua jemarinya mulai memerah. Pagi itu
matahari tidak bersinar seperti kemarin, hanya angin berhembus menggelitik
telinganya. Sane hanya berfikir untuk segera sampai disana dan pergi ke
Dornwich untuk menangkap bajingan itu.
Sesampainya
di Lorners Station, keadaan tampak
begitu sepi, hanya beberapa orang berlalu lalang untuk pergi ke loket atau
sekedar menuju ke arah toilet, sebagian dari yang tak besar itu duduk menunggu
kedatangan kereta dari Varshity. Tampak di monitor Lorners-Varrond gerbang 4 selanjutnya Lorners-Arborsaint gerbang 2 . Sane tak begitu memperhatikan
keadaan itu, dirinya hanya terfokus pada monitor yang menampakkan Lorners-Kingsley gerbang 2 pukul 08:30
sekitar 15 menit dari sekarang. Buru-buru langkahnya terdengar menuju loket 2
yang terletak di sebelah pintu menuju toilet laki-laki. Perasaannya sangat
kacau pagi ini, keberhasilannya mengungkap tersangka pun tak mampu menutupi
kebimbangan akan kasus yang dihadapinya. Kejadian itu terasa aneh dan berlalu
begitu saja tanpa memerlukan pemikiran mendalam.
“Tolong
satu tiket ke Kingsley.” Ujarnya ke petugas loket yang ditaksirnya berumur
sekitar 25 tahunan dan tertera nama pada jas yang dipakai pegawai itu.
“Apa
Anda merasa nyaman berpakaian seperti itu saat kerja?”
“Mungkin
Anda harus mencobanya Tuan, seperti keadaan Anda sekarang. Selamat menikmati
perjalanan semoga selamat sampai tujuan.” Kolovas menyodorkan tiket pada Sane.
Ia hanya membalas dengan senyum tipis.
Tas
di punggung Sane terasa sedikit berat, bahunya menggeretak. Mungkin ia hanya
perlu duduk dan memakan sandwich yang tersisa di dalam tasnya. Kemudian, ia pun
mencari bangku kosong agak jauh dari sekumpulan anak-anak muda yang sedang
bergurau.
Waktu
terasa lama, setelah ia berhasil menghabiskan 2 bungkus sandwich dan hampir
seperempat botol air mineral yang dibawanya. 8 menit…7 menit…6 menit..5
menit..30 detik…. Sane hanya menatap jam di seberang monitor kedatangan kereta
itu pekat-pekat.
Lorners-Dornwich gerbang 2 08:30-9:45
“Kereta
Lorners-Kingsley akan segera tiba. Silakan penumpang menuju gerbang 2 dan
persiapkan tiket Anda untuk dicek oleh petugas. Terima kasih. Semoga perjalanan
Anda menyenangkan.”
Wajah
Sane sedikit lega setelah ia duduk di bangku kereta di mana kacanya terasa
membeku ketika tangan telanjang Sane menyentuhnya. Sedari tadi, ponselnya masih
saja bergetar tapi Sane mengacuhkannya. “Kalian tak perlu mengkhawatirkanku, kupastikan
aku akan kembali dengan nyawaku.” Gumamnya dalam hati.
Setengah
jam berlalu, seorang wanita muda duduk di hadapan Sane setelah transit di Stasiun
Jersey. Parasnya nyaman dipandang, rambut hitam terurai dan mata legamnya mengkilat.
Tatapannya mengisyaratkan bahwa ia memiliki karisma yang tinggi.
“Permisi
bolehkah aku bertanya?”
“Tentu
saja, Nona.”
“Apa
Anda tahu dimana alamat ini?”
-Hobart Street distrik 20 Kingsley Utara-
“Apa
Anda yakin ini alamat yang benar?”
“Sebenarnya
tak terlalu, aku sudah mencoba beberapa kali bertanya pada orang-orang, dan
mengeceknya melalui ponselku, tapi nihil.”
“Yah
begitu juga menurutku.”
“Ya
Tuhan…jadi dia benar-benar menipuku, maafkan aku Tuan telah menyusahkan Anda.”
“Sebentar,
setidaknya aku pernah mendengarnya sekali, tapi aku tak terlalu yakin. Hobart
Street Kingsley…..tunggu Nona biar aku carikan.” Dibukanya tas yang sedari tadi
memberatkan punggung Sane, dan laptop yang berada di dalamnya.
“Seminggu
ini aku sempat diteror beberapa kali dan diminta untuk datang ke Hobart Street
Kingsley, tapi yang kutahu hanya Hobart Street di Lorners.”
“Yeah
tempat tragedi berdarah seminggu lalu. Semua orang tahu itu. Nah..ini dia.
Catatan kriminal milik Fransisco Rain, salah satu tersangka kerusuhan di
Varrond yang mengalami gangguan jiwa. Setelah dilakukan penyelidikan kedua,
sekitar dua bulan lalu, ia mengaku bahwa tinggal di Hobart Street Kingsley.
Jadi kurasa orang itu gila seperti Rain ini.”
“Oh..apakah
Anda seorang polisi? Terima kasih atas informasinya, kupikir itu benar-benar
berita penting.”
“Ya,
Sane Jadewish dari Lorners, tapi aku masih baru. Tenanglah nona, lebih baik
Anda pulang. Kebetulan aku akan pergi ke Kingsley. Kupikir aku bisa membantu
Anda menemukan alamat itu. Simpan saja kartu namaku.”
“Aku
sungguh berterima kasih. Baiklah aku akan berhenti di sini. Semoga harimu
menyenangkan.”
“Jangan
berlebihan.” Sama seperti sebelumnya, Sane hanya tersenyum tipis membalas
sanjungan berlebihan dari wanita itu.
Selanjutnya,
kereta transit di beberapa stasiun kecil dan tentu saja Kingsley sebelum
stasiun utama Dornwich.
Sesampainya
di Kingsley, Sane mencoba menghubungi Maltius. Tapi telfonnya tak diangkat. Dia
memutuskan untuk meninggalkan pesan suara
“Aku
sudah sampai di Kingsley dengan selamat, jangan khawatirkan apapun tentangku.
Kupastikan aku akan kembali dengan nyawa utuh. Selidiki saja CCTV di Hobart
Street.”
Sane
menghela nafas, pikirannya masih teringat pada pertemuan dengan pembunuh
semalam, Hobart Street Kingley apa maksudnya? Apa dia ingin main-main
denganku?”
Pikiran
yang tak waras selalu ingin menjadi pemberontak, Sane mencoba untuk
meredakannya. Dia mulai melangkah melalui jalan yang diceritakan Jeremy Crowde.
Jalan beraspal yang licin sekitar setengah mil,
lalu jalan setapak menuju Pasar Kingsley yang terbengkalai. Dan benar saja,
jalan itu benar-benar ada seperti yang diceritakan Crowde.
Tepat
ketika ia sampai di Pasar Kingsley, sebuah tubuh melayang tepat seperti yang
Jeremy katakan. Leher dililit tambang besar, tangan terikat ke belakang dan
wajah tersungkur ke salju yang putih hingga darah keluar dari kepalanya. Sane
hanya terdiam dan terpaku, itulah kejadian mengerikan pertama yang dilihatnya
selama menjadi polisi. Deru nafasnya memberat, tangannya yang merah bergetar.
Rasanya ia tak sanggup untuk berdiri lebih lama. Segera saja Sane hilangkan
perasaan yang justru membuatnya semakin ketakutan. Ia berusaha melawan
ketakutan yang menjamah batinnya dan mendekati mayat itu. Segera langkahnya
menuju tubuh yang tersungkur itu dan mengambil beberapa foto untuk barang
bukti.
Dan…..astaga!
Dia benar-benar Jeremy Crowde. Tersangka yang dicarinya telah mati dengan kisahnya
sendiri.
Ega
Agustina Cahyani
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar